
Was-Was Royalty Ditempat Komersial, Cafe dan Restoran Stop Live Music
Stagehousemusic.com, – Polemik tarif royalti musik yang kian luas dalam beberapa bulan terakhir mulai berdampak langsung pada pola hiburan di kafe dan restoran.
Jika sebelumnya live music dan home band menjadi daya tarik utama untuk menghidupkan suasana, kini pelaku usaha kafe dan restoran mulai memilih meniadakannya.
Aturan terkait royalti lagu membuat sebagian pelaku usaha mengubah habit dalam memutar musik. Salah satunya, dengan beralih memutar musik-musik instrumental.
Musisi, masyarakat, dan pelaku usaha dibenturkan dalam persoalan pembayaran royalti lagu, sementara pemerintah hanya jadi penonton, menurut pengamat. Informasi dan sosialisasi royalti musik oleh pemerintah selama ini disebut sangat minim.
Beberapa pekan terakhir, pelaku usaha cemas, terutama saat pengelola restoran Mie Gacoan di Bali dijadikan tersangka karena memutar lagu tanpa membayar royalti. Akibatnya, banyak restoran dan kafe kini membiarkan tempat usahanya hening.
Di sisi lain, kelompok musisi mempertanyakan transparansi laporan rinci dari uang royalti yang berhak mereka dapatkan. Aspek “informasi prosedur dan penghitungan royalti yang terbatas” ini membuat sebagian pemusik belum mendaftarkan diri ke lembaga pengelola royalti yaitu Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Sejak Maret lalu, 29 musisi mengajukan gugatan uji materi Undang-undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan royalti. Pengajuan uji materiil tersebut telah terdaftar dengan nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025.
Pemerintah maupun Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)—yang bertanggung jawab mengutip royalti—didesak memberikan solusi nyata terkait polemik royalti lagu.
Bagaimana aturan royalti musik? Bagaimana dengan suara alam dan kicau burung?
Pembayaran royalti ini sebenarnya sudah diatur melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan regulasi turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Dalam PP tersebut, ada 14 bentuk layanan publik yang bersifat komersial, sehingga penggunaan lagu dan musik di lokasi tersebut patut membayar royalti. Antara lain:
- Seminar dan konferensi komersial
- Restoran, kafe, pub, bar, bistri, kelab malam, dan diskotek
- Konser musik
- Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal lait
- Pameran dan bazar
- Bioskop
- Nada tunggu telepon
- Bank dan kantor
- Pertokoan
- Pusat rekreasi
- Lembaga penyiaran televisi
- Lembaga penyiaran radio
- Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel
- Usaha karaoke
Penarikan dan pengelolaan royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Royalti dikumpulkan berdasarkan laporan penggunaan data lagu/musik yang terdaftar di Sistem Informasi Lagu/Musik.
Dari pengumpulan royalti itu, hasilnya didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Untuk tarif, aturannya tercantum pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI HKI.2.0T.03.01-02 Tahun 2016.
Acara konser, misalnya, promotor harus membayarkan hasil kotor penjualan tiket (gross ticket box) dikali 2% ditambah dengan tiket yang digratiskan dikali 1%. Tarif hotel didasarkan jumlah kamar, pertokoan sesuai dengan luasannya.
Sistem yang digunakan terkait tarif ini adalah sistem blanket. Sistem ini memasang tarif tetap yang dikenakan pada tempat usaha untuk memutar seluruh katalog musik yang dilindungi tanpa batas lagu atau frekuensi pemutaran. Tarif berlaku selama satu tahun dan bisa diperbarui.
Jadi, pembayaran tarifnya bukan per lagu atau berapa banyak lagu diputar.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, memahami ada persepsi yang berbeda dari para pelaku usaha. Salah satunya ketika sudah berlangganan layanan musik digital dianggap sudah menunaikan legalitas terkait pemutaran musik di ruang publik.
“Padahal aturannya tidak demikian. Ini yang belum dipahami oleh semua pelaku usaha. Pemerintah harus jelas melakukan sosialisasinya agar tidak ada banyak persepsi yang ujung-ujungnya malah pidana,” kata Yusran.
Kurator musik, Dimas Ario Adrianto, menyampaikan membeli rilisan fisik atau berlangganan layanan musik digital itu hanya untuk digunakan pribadi. “Haknya tidak otomatis meliputi pemutaran di ruang usaha.”
Ketika lagu/musik diputar kepada pelanggan itu dinilai sebagai penggunaan komersial dan perlu membayar lisensi pengumuman yang di dalamnya mengandung: hak atas komposisi musik dan hak atas rekaman suara yang disalurkan LMK.
Hal ini juga berlaku untuk pemutaran lagu via radio maupun televisi. Lagunya juga meliputi lagu Indonesia dan luar negeri.
Lagu religi hingga lagu daerah pun bisa terkena royalti hak terkait atas rekaman suara ulang atau cover version. “Komposisi musiknya bisa bebas royalti, tapi rekaman suara ulangnya bisa kena hak terkait.”
Bahkan rekaman suara alam, kicau burung, dan lain-lain tetap disebut sebagai fonogram karena ada musisi, produser, dan label yang merekam hingga merilis audionya.
“Hak atas fonogram itu termasuk hak terkait. Jadi, pemutarannya di ruang publik tetap wajib dapat royalti,” kata Dimas. (*)